Apakah Akad Sudah Dianggap Sah Dengan Adanya Serah Terima Barang?

Para ulama telah sepakat bahwa akad itu sudah dianggap sah dengan adanya pengucapan lafal perjanjian tersebut. Namun mereka berbeda pendapat apakah perjanjian itu sah dengan sekedar adanya serah terima barang. Yakni seorang penjual menyerahkan barang dan pembeli menyerahkan uang bayarannya tanpa adanya ucapan dari salah seorang di antara mereka berdua. Kenyataan pada zaman modern kita sekarang ini, perangkat komputer bisa dijadikan etalase barang-barang jualan dengan urutan tertentu. Lalu datang pembeli dan memilih barang mana yang disukainya, kemudian ia menyerahkan uang bayarannya di tempat yang sudah ditentukan. Si komputer akan menyerahkan kepadanya barang yang diinginkan dengan cara yang canggih pula. Pendapat yang benar menurut mayoritas ulama adalah bahwa jual beli semacam itu sah berdasarkan hal-hal berikut:

[1]. Hakikat dari jual beli yang disyariatkan adalah menukar harta dengan harta dengan dasar kerelaan hati dari kedua belah pihak, tidak ada ketentuan syar’i tentang harusnya lafal tertentu. Sehingga semuanya dikembalikan kepada adat kebiasaan.

[2]. idak terbukti adanya syarat ijab qabul secara lisan dalam nash-nash syariat. Kalau itu merupakan syarat, pasti sudah ada nash yang menjelaskannya. Lainnya

Hukum Menyewakan Kios Kepada Para Pedagang Yang Menjual Barang-Barang Yang Diharamkan

Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apa hukum menyewakan kios-kios dagang dan gudang-gudang kepada orang yang menjual sesuatu yang diharamkan seperti alat-alat musik dan kios-kios penjualan lagu-lagu, kedai yang menjual rokok dan majalah-majalah yang menentang syari’at Allah atau Salon-salon pangkas rambut yang banyak tesebar ?

Dan apapula hukum menyewakan halaman-halaman rumah dan rumah-rumah kepada orang-orang yang berkumpul untuk berhura-hura dan melalaikan shalat atau meninggalkannya ?

Juga apa hukum uang-uang yang diambil oleh kantor-kantor pertanahan sebagai biaya penyewaannya ?

Jawaban
Menyewakan kios-kios dan gudang-gudang, kepada orang yang menjual atau menyimpan sesuatu yang diharamkan adalah haram hukumnya sebab hal itu termasuk ke dalam katagori bertolong-menolong di dalam berbuat dosa dan pelanggaran yang dilarang oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana dalam firmanNya.

“Artinya : Dan janganlah kamu bertolong-menolong atas perbuatan dosa dan pelanggaran”. [Al-Maidah : 2] Lainnya

Hukum Berjual Beli Secara Kredit

Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Pembicaraan seputar berjual beli secara kredit lagi marak. Oleh karena itu, mohon kepada yang mulia untuk menjelaskan hukum mejual dengan kredit !

Jawaban
Menjual dengan kredit artinya bahwa seseorang menjual sesuatu (barang) dengan harga tangguh yang dilunasi secara berjangka. Hukum asalnya adalah dibolehkan berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

“Artinya : Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya” [Al-Baqarah : 282]

Demikian pula, karena Nabi Shallallahu alaihi wa salam telah membolehkan jual beli As-Salam, yaitu membeli secara kredit terhadap barang yang dijual. Akan tetapi kredit (angsuran) yang dikenal di kalangan orang-orang saat ini adalah termasuk dalam bentuk pengelabuan terhadap riba. Teknisnya ada beberapa cara, di antaranya : Lainnya

Hukum Memindahkan Barang Dagangan Dari Tempat Penjual Ke Tempat Pembeli

Pertanyaan.
Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta ditanya : Apakah (termasuk yang) disyaratkan dalam penguasaan barang dagangan, memasukkannya dalam gudang, atau cukup dengan sampainya dagangan tersebut di depan kantor lembaga?

Jawaban
Penguasaan barang yang benar terhadap suatu barang diwujudkan dengan memindahkan barang dagangan dari tempat penjual ke tempat pembeli. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang barang dagangan dijual dari tempat dibeli, sampai pedagang menerimanya dan membawanya ke tempat mereka.

Telah diriwayatkan oleh Abu Dawud dan At-Tirmidzi. Dan (jika) pihak pembeli memindahkan barang tersebut ke tempat yang tidak menjadi kekuasaan penjual, itu sudah cukup berdasarkan perkataan Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma.

“Artinya : Kami membeli makanan dari Ar-Rukhbaan (para pedagang) secara acak, lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kami membelinya sampai kami membawanya dari tempat tersebut” [1] Lainnya

Hukum Menjual Barang Yang Belum Dimiliki

Pertanyaan.
Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta ditanya : Kami adalah beberapa orang yang bertanggung jawab atas sebuah koperasi milik kerabat kami. Dan kami membeli beberapa mobil baru dengan surat-surat pabean, dan ada pula dengan STNK. Kami mejualnya dengan sistem angsuran. Perlu diketahui bahwa kami tidak memindahkannya dengan menggunakan nama-nama kami dan tidak mengeluarkannya dari tempat penjual, tetapi kami menjualnya di tempat pembeliannya. Kami mengharap kepada Allah kemudan kepada Anda suatu jawaban. Apakah hal itu termasuk riba atau tidak? Jika memang riba, lalu bagaimana kami harus menyelamatkan diri darinya? Perlu diketahui bahwa kami tidak pernah menerima keuntungan. Semoga Allah memberikan petunjuk kepada anda.

Jawaban
Tidak diperbolehkan menjual berbagai macam mobil, baik secara tunai maupun kredit, secara berangsur maupun tidak, kecuali pemilik barang itu telah menguasainya dan menerimanya secara penuh, yakni pembeli pertama telah menerimanya, menguasainya dan memindahkannya kepada miliknya. Dan sekedar memperoleh surat-surat pabean tidak dianggap sebagai jual beli sebelum adanya penguasaan dan pemilikan barang itu secara sempurna. Berdasarkan hal tersebut, menjual mobil dengan surat-surat pabean sebelum adanya penerimaan barang dan penguasaannya secara penuh, maka dianggap sebagai jual beli yang tidak sah dan diharamkan untuk melakukannya, serta harus dibatalkan. Sedang pembayarannya dikembalikan kepada yang berhak. Dan tidak dihalalkan untuk mendapatkan hasil penjualannya kecuali dengan mengadakan akad baru setelah mobil itu menjadi milik pembeli secara penuh dan berada dalam kekuasaannya.

Wabillaahit Taufiq. Dan mudah-mudahan Allah senantiasa melimpahkan kesejahteraan dan keselamatan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan para sahabatnya.

Hukum Jual Beli Dengan Sistem Angsuran

Pertanyaan.
Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta ditanya : Jika seseorang memiliki suatu barang, seperti misalnya, roti, gula,minyak atau binatang ternak, yang nilainya mencapai 100 riyal, dan dia bermaksud untuk menjualnya secara tidak tunai dengan harga 130 riyal misalnya, sampai batas waktu tertentu, yang biasa dijalankan adalah satu tahun, dan hal itu telah berlangsung selama satu atau dua tahun tetapi tidak juga melunasinya. Apakah ada kesalahan dalam praktek jual beli tersebut? Demikian juga jika orang yang membeli secara tidak tunai itu membelinya dari gudang atau toko, dan pemiliknya telah menghitungnya berikut keuntungannya, apakah dia boleh menjual barang-barang tersebut di warungnya setelah dihitung dan dia terima ataukah dia harus menyuplainya ke toko lain?

Jawaban
Diperbolehkan bagi seseorang menjual makanan atau yang lainnya secara tidak tunai dengan batas waktu tertentu, meskipun dia menaikkan harganya dari harga waktu menjualnya sampai pada batas waktu tertentu. Bagi orang yang berhutang untuk segera melunasi hutangnya saat jatuh tempo. Hal itu berdasarkan pada firman Allah Ta’ala.

“Jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah, Rabbnya” [Al-Baqarah : 283] Lainnya

HUKUM JUAL BELI DENGAN UANG MUKA

Dalam permasalahan ini, terdapat perbedaan dikalangan para ulama, yang terbagi dalam pendapat:

[1]. Yang berpendapat jual-beli dengan uang muka (panjar) ini tidak sah. Inilah yang menjadi pendapat mayoritas ulama di kalangan Hanafiyyah, Malikiyyah dan Syafi’iyyah.

Al Khathabi mengatakan : Para ulama berselisih pendapat tentang bolehnya jual beli ini, Malik, Syafi’I menyatakan ketidaksahannya, karena adanya hadits[5] dan karena terdapat syarat fasad (rusak) dan Al-gharar (spekulasi)[6], Juga, jual-beli seperti ini termasuk dalam kategori memakan harta orang lain dengan cara bathil. Demikian juga Ash-habul Ra’yu (madzhab Abu Hanifah, -pen) menilainya tidak sah” [7]

Ibnu Qudamah mengatakan, demikianlah pendapat Imam Maalik, As-Syafi’i dan Ash-hab Ra’yu dan juga diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Al Hasan Al Bashri [8]

Yang menjadi argumentasi pendapat ini, di antaranya sebagaimana berikut ini.

[a]. Hadits Amru bin Syuaib, dari ayahnya, dari kakeknya bahwa ia berkata:

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْعُرْبَانِ قَالَ مَالِكٌ وَذَلِكَ فِيمَا نَرَى وَاللَّهُ أَعْلَمُ أَنْ يَشْتَرِيَ الرَّجُلُ الْعَبْدَ أَوْ يَتَكَارَى الدَّابَّةَ ثُمَّ يَقُولُ أُعْطِيكَ دِينَارًا عَلَى أَنِّي إِنْ تَرَكْتُ السِّلْعَةَ أَوْ الْكِرَاءَ فَمَا أَعْطَيْتُكَ لَكَ

“Artinya : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli dengan sistem uang muka. Imam Maalik berkata : “Dan inilah adalah yang kita lihat –wallahu A’lam- seorang membeli budak atau menyewa hewan kendaraan kemudian berkata, ‘Saya berikan kepadamu satu dinar dengan ketentuan apabila saya membatalkan (tidak jadi) membeli atau tidak jadi menyewanya, maka uang yang telah saya berikan itu menjadi milikmu” [9] Lainnya