Inilah Alasan Kenapa Orang Islam Haram Merayakan Tahun Baru Masehi

Oleh: Badrul Tamam

Al-Hamdulillah, segala puji bagi Allah. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada baginda Rasulillah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, keluarga dan para sahabatnya.

Tahun baru masehi pada zaman kita ini dirayakan dengan besar-besaran. Suara terompet dan tontonan kembang api hampir menghiasi seluruh penjuru dunia di barat dan di timurnya. Tidak berbeda negara yang mayoritas penduduknya kafir ataupun muslim. Padahal, perayaan tersebut identik dengan hari besar orang Nasrani. Lainnya

Operasi Caesar Agar Bayi Lahir di Tanggal Tertentu Diharamkan

img

(Foto: thinkstock)

Surabaya, Operasi caesar karena alasan ingin melahirkan pada tanggal-tanggal tertentu seperti tanggal cantik atau alasan non kesehatan diharamkan oleh Forum Ponpes se Jawa Madura. Operasi caesar hanya boleh untuk upaya darurat dan paling terakhir.

Haramnya operasi caesar karena alasan tanggal cantik ini hasil rumusan Forum Bahtsul Masail Pondok Pesantren (Ponpes) ke-24 di Ponpes Al Falah Trenceng Tulungagung, Jatim.

Forum yang diikuti 250 santri dari 150 ponpes se-Jawa dan Madura ini selain operasi caesar, mereka juga mengharamkan menyambung rambut dan menggunakan tato alis yang dilakukan kaum perempuan. Lainnya

Perayaan Natal dan Tahun Baru Syi’ar Agama Orang Kafir

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang Esa. Shalawat dan salam kepada Nabi terakhir, Muhammad bin Abdillah, serta keluarga dan sahabat beliau.

Setiap umat memiliki hari besarnya masing-masing untuk mengenang dan menghidupkan moment tertentu atau untuk mengungkapkan kebahagiaan, kesenangan, dan syukur yang sifatnya berulang setiap tahun.

Allah mengetahui kecenderungan yang ada dalam diri manusia ini, karenanya Dia memberi petunjuk untuk mengapresiasikannya dengan cara yang mulia. Yaitu dengan mengingatkan hikmah penciptaan, tugas manusia, dan ibadah kepada Allah.
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, “ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tiba di Madinah, penduduk Madinah memiliki dua hari raya yang mereka bermain-main (bersenang-senang) di dalamnya. Lalu beliau bertanya, “Dua hari apa ini?” mereka menjawab, “dua hari yang kami bermain-main di dalamnya pada masa Jahiliyah.” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mengganti untuk kalian dua hari tersebut dengan Idul Adha dan Idul Fitri.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad). Lainnya

Hukum Seputar Memelihara Anjing

Dari Abdullah bin Umar radhiallahu anhuma dia berkata: Aku mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ اقْتَنَى كَلْبًا إِلَّا كَلْبًا ضَارِيًا لِصَيْدٍ أَوْ كَلْبَ مَاشِيَةٍ فَإِنَّهُ يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِهِ كُلَّ يَوْمٍ قِيرَاطَانِ
“Barangsiapa memelihara anjing selain anjing untuk berburu atau anjing untuk menjaga binatang ternak, maka pahalanya akan berkurang dua qirath setiap harinya.” (HR. Al-Bukhari no. 5059 dan Muslim no. 2940)
Satu qirath banyaknya sebesar gunung uhud.
Juga dari Ibnu Umar radhiallahu anhuma dia berkata:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِقَتْلِ الْكِلَابِ إِلَّا كَلْبَ صَيْدٍ أَوْ كَلْبَ غَنَمٍ أَوْ مَاشِيَةٍ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan supaya membunuh anjing kecuali anjing untuk berburu atau anjing untuk menjaga kambing atau menjaga hewan ternak.” (HR. Muslim no. 1571)
Dari Abdullah bin Mughaffal radhiallahu anhu dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لَوْلَا أَنَّ الْكِلَابَ أُمَّةٌ مِنْ الْأُمَمِ لَأَمَرْتُ بِقَتْلِهَا فَاقْتُلُوا مِنْهَا الْأَسْوَدَ الْبَهِيمَ وَمَا مِنْ قَوْمٍ اتَّخَذُوا كَلْبًا إِلَّا كَلْبَ مَاشِيَةٍ أَوْ كَلْبَ صَيْدٍ أَوْ كَلْبَ حَرْثٍ إِلَّا نَقَصَ مِنْ أُجُورِهِمْ كُلَّ يَوْمٍ قِيرَاطَانِ
“Sekiranya anjing itu tidak termasuk dari sekelompok ummat dari ummat-ummat, niscaya aku akan perintahkan untuk membunuhnya. Oleh karena itu bunuhlah jenis anjing yang berwarna hitam pekat. Dan tidaklah suatu kaum memelihara anjing selain anjing penjaga ternak, atau anjing untuk berburu, atau anjing penjaga kebun, melainkan pahalanya akan berkurang dua qirath setiap harinya.” (HR. At-Tirmizi no. 1486, An-Nasai no. 4280, Ibnu Majah no. 3196, dan dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 5321)
Juga dari Ibnu Mughaffal radhiallahu anhu dia berkata:
أَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِقَتْلِ الْكِلَابِ ثُمَّ قَالَ مَا بَالُهُمْ وَبَالُ الْكِلَابِ ثُمَّ رَخَّصَ فِي كَلْبِ الصَّيْدِ وَكَلْبِ الْغَنَمِ وَقَالَ إِذَا وَلَغَ الْكَلْبُ فِي الْإِنَاءِ فَاغْسِلُوهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ وَعَفِّرُوهُ الثَّامِنَةَ فِي التُّرَابِ
“Rasulullah memerintahkan membunuh anjing, kemudian beliau bersabda: “Ada (hubungan) apa antara mereka dengan anjing?” Kemudian beliau memberikan keringanan pada anjing pemburu dan anjing (penjaga) kambing (untuk tidak dibunuh) seraya bersabda: “Apabila seekor anjing menjilat pada suatu wadah, maka kalian cucilah dia tujuh kali, dan campurkan dengan tanah pada pencucian yang kedelapan.” (HR. Muslim no. 280) Lainnya

Hukum Kencing Bayi yang Baru Mengonsumsi ASI

Tanya:
Bismillah. Afwan ustadz, bagaimana hukumnya kencing bayi laki-laki yang masih mengonsumsi ASI dan dibantu dengan susu formula? Dan bagaimana cara membersihkannya?

08525563????

Jawab:
Pendapat yang paling kuat dalam masalah ini adalah bahwa kencing anak laki-laki dan perempuan yang belum mengonsumsi apa-apa selain ASI -apalagi jika sudah mengonsumsi makanan lainnya-, adalah najis berdasarkan keumuman dalil akan najisnya kencing.
Adapun hadits:

يُغْسَلُ مِنْ بَوْلِ اَلْجَارِيَةِ, وَيُرَشُّ مِنْ بَوْلِ اَلْغُلَام

“Kencing bayi perempuan dicuci dan kencing bayi laki-laki cukup dipercikkan dengan air.” (HR. Abu Daud dan An-Nasai dari Abu As-Samh)
Maka hadits ini tidak menunjukkan tidak najisnya kencing bayi laki-laki yang belum mengonsumsi apa-apa selain ASI. Akan tetapi hadits ini hanya menunjukkan adanya perbedaan antara cara menghilangkan najis kencing bayi laki-laki dengan bayi perempuan. Cara pembersihan pada kencing bayi laki-laki lebih dipermudah dengan beberapa hikmah yang disebutkan oleh para ulama, di antaranya: Karena bayi laki-laki lebih sering dibawa keluar dan lebih sering digendong, sehingga memberatkan jika setiap kali dia kencing lantas mengenai baju maka baju tersebut harus dicuci. Wallahu a’lam bishshawab.

Sumber :http://al-atsariyyah.com

Hukum Kompas Pada Penentuan Kiblat

Tanya:
Bismillah. Ustadz, bolehkah menggunakan kompas khusus untuk menentukan arah kiblat agar terhindar dari salah arah? Barakallahu fiik

Ibn Romin Al-Jakarti
021959????

Jawab:
Boleh menggunakan kompas untuk menentukan arah kiblat, karena tidak diragukan bahwa menghadap tepat ke arah kiblat itu yang lebih utama. Hanya saja para ulama menyebutkan bahwa barangsiapa yang tidak melihat ka’bah secara langsung maka dia diperbolehkan untuk hanya menghadap ke arah ka’bah (dalam hal ini barat bagi Indonesia). Kalau demikian keadaannya penggunaan ini kompas ini diperbolehkan akan tetapi tidak diwajibkan.
Adapun jika sebuah masjid sudah dibangun dengan menghadap ke arah barat, lantas ketika diukur dengan kompas ternyata menyimpang beberapa derajat dari arah tepat ka’bah. Apakah kiblat masjidnya harus dirubah ataukah dibiarkan seperti itu?
Jawabannya bisa dilihat di: http://al-atsariyyah.com/?p=168

Hukum Tabungan Zakat Untuk Hewan Kurban

Tanya:
Assalamu alaikum. Saya mengeluarkan zakat gaji saya 2,5% sebesar 230rb/bln dan saya menabungnya. Bolehkah tabungan zakat tersebut saya belikan qurban di hari idul adha nanti?

08524212????

Jawab:
Waalaikumussalam warahmatullah.
Pertama perlu diketahui bahwa zakat penghasilan/profesi tidak dikenal dalam agama Islam. Orang yang pertama kali memunculkan bid’ah ini adalah seorang yang bernama Yusuf Al-Qardhawi, dan dia berdalih dengan dalil-dalil yang sangat lemah, padahal hukum asal harta seorang muslim tidak boleh diambil kecuali jika ada haknya. Di antara syarat wajib zakat adalah nishab telah berada di tangan selama setahun, sementara zakat profesi dia wajibkan keluar tiap bulannya, dan ini adalah kebatilan.
Yang kedua juga butuh diketahui bahwa syariat Islam tidak mewajibkan seorang muslim untuk mengumpulkan harta hingga cukup nishab zakat dan juga tidak mewajibkan untuk mempertahankan agar jumlah nishab tidak berkurang. Karenanya menyisihkan uang sebagai tabungan zakat bukanlah keharusan walaupun boleh-boleh saja dia kerjakan. Allah memberikan kemudahan, kapan terkumpul nishabnya maka dia keluarkan zakatnya tahun depan, dan jika di tengah tahun dia menggunakan hartanya sehingga berkurang dari nishab maka itu tidak bermasalah dan kewajiban zakatnya gugur.
Jika ini sudah diketahui maka jawaban dari pertanyaan di atas sudah jelas, yaitu boleh saja tabungan itu dia belikan hewan qurban, karena tabungannya itu tidak wajib dia pertahankan jumlahnya dan juga keyakinan dia akan adanya zakat penghasilan adalah keyakinan yang keliru. Wallahu a’lam

Sumber :http://al-atsariyyah.com

Hukum Berduka Atas Kematian Penentang Syariat

Tanya :
Ustadz, apa hukumnya kita ikut berduka atas kematian orang yang pernah menentang bahkan menghina syariat Islam. bolehkah kita mendoakannya?
“Abidin”

Jawab:
Kalau memang dia jelas merupakan penentang agama dan menghinakan syariat maka tidak boleh kita mendoakannya bahkan tidak boleh bagi kita untuk menyolatinya. Karena menghina dan mengejek syariat adalah perbuatan kekafiran dan merupakan pembatal keislaman. Jika dia menampakkan keislaman maka dia adalah orang munafik, dan sungguh Nabi -alaihishshalatu wassalam- telah dilarang untuk menyolati jenazah orang munafik.
Allah Ta’ala berfirman, “Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat (nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahanam.” (QS. At-Taubah: 113)
Ayat ini turun menegur Nabi -alaihishshalatu wassalam- yang meminta ampunkan untuk pamannya, Abu Thalib yang meninggal dalam keadaan musyrik.
Dan juga Allah Ta’ala berfirman, “Dan janganlah kamu sekali-kali menyalati (jenazah) seorang yang mati di antara mereka (orang-orang munafik), dan janganlah kamu berdiri (mendoakan) di kuburnya. Sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik.” (QS. At-Taubah: 84)
Ayat ini juga turun menegur Nabi -alaihishshalatu wassalam- ketika beliau menyalati jenazah Abdullah bin Ubay bin Salul, pimpinan orang munafik.

Sumber :http://al-atsariyyah.com

Hukum Obat dan Parfum Beralkohol

Pertanyaan:
Apa hukum menggunakan obat-obatan dan wangi-wangian yang mengandung alkohol?

Abu Abdil Aziz (0815209????)

Jawab:
Adapun hukum alkoholal dijadikan campuran obat atau wangi-wangian, maka berikut jawaban dari Syaikh Yahya Al-Hajuri dan Syaikh Abdurrahman Al-Mar’i:
Syaikh Yahya bin ‘Ali Al-Hajury -hafizhohullah- menjawab dengan nash sebagai berikut:
“Apabila alkohol tersebut sedikit dan larut di dalamnya sehingga tidak meninggalkan bekas sama sekali apalagi memberikan efek atau pengaruh maka itu tidaklah mengapa. Adapun apabila alcohol tersebut terdapat di dalam obat sehingga memberikan pengaruh terhadap pemakai apakah karena dosisnya di dalam obat tersebut 50% atau kurang maka hukumnya tidak boleh”.

Permasalahan ini juga telah ditanyakan kepada Syaikh ‘Abdurrahman bin ‘Umar bin Mar’iy Al-’Adany yang diberi gelar oleh Syaikh Yahya sebagai Faqihud Dar .
Beliau menjawab semakna dengan jawaban Syaikh Yahya di atas dan beliau menambahkan, “Dan itu sama seperti air yang masuk ke dalamnya beberapa tetes urine (air seni). Apabila air tersebut berubah dari asalnya maka air tersebut menjadi najis dan apabila air seni tersebut tidak mengubah dan tidak memberikan pengaruh terhadapnya maka air tersebut tetap pada hukum asalnya”.

Dan beliau (Syaikh ‘Abdurrahman) juga pernah ditanya dengan nash pertanyaan berikut:
“Darimana kita bisa mengetahui bahwa alkohol tersebut sudah terurai dengan zat yang lain ?”
Beliau menjawab:
“(Diketahui) dengan salah satu dari dua perkara (berikut) :
1. Kita menerapkan kaidah yang berbunyi “Apa-apa yang dalam jumlah banyak memabukkan maka dalam jumlah sedikit juga haram”. Maka minyak wangi ini (yang bercampur dengan alkohol-pent.) jika dalam jumlah banyak bisa memabukkan maka dalam jumlah kecil juga tidak boleh menjualnya, tidak boleh membelinya, dan tidak boleh menggunakannya. Dan yang nampak bahwa hal tersebut berjenjang, karena di antara minyak wangi ini ada yang terdapat alkohol di dalamnya dengan kadar 15 %, di antaranya ada yang 2 % dan di antaranya ada yang 6 %, yang jelas inilah kaidah yang difatwakan oleh para ulama.
2. Dengan meneliti minyak wangi ini melalui cara-cara penelitian modern. Jika diketahui dengannya bahwa alkohol ini tidak menyatu dengan zat minyak wangi maka boleh menggunakannya, jika tidak diketahui maka tidak (boleh).
(Adapun) Obat-obatan yang mengandung alkohol, maka rinciannya seperti rincian pada minyak wangi (di atas).
Dan yang nasihatkan adalah meninggalkan penggunaan minyak wangi dan obat-obatan yang terdapat alkohol di dalamnya”.

Sumber :http://al-atsariyyah.com

Apakah Islam Membolehkan “SUMPAH POCONG”..?

Tanya: Assalamu ‘alaikum wr. wb. Ada yang ingin ana tanyakan, apakah Islam membolehkan umatnya untuk melakukan sumpah pocong? Karena ada sebagian orang Islam yang melakukannya. (08197890***)

Jawaban Al Ustadz Abu Hamzah Al Atsary.:

Wa’alaikumussalam warohmatullahi wabarokatuh.

Pertama, Islam tidak mengenal adanya sumpah pocong, hal ini menunjukkan bahwa sumpah pocong bukan berasal dari Islam.

Kedua, didapatinya sebagian orang Islam yang melakukannya ini bukanlah dalil / ukuran dalam menilai suatu kebenaran, barometer kebenaran itu hanyalah Al Kitab dan As Sunnah.

Ketiga, masalah sumpah itu sendiri sebenarnya ada dalam Islam, dimana kita tidak boleh bersumpah kecuali atas nama Allah. Rosulullah bersabda, “Barangsiapa bersumpah dengan selain Allah maka ia telah kufur atau syirik.” (HR Tirmidzi dari Umar ibnu Khattab).

Dalam hadits lain disebutkan bahwa orang-orang Yahudi mendatangi Nabi, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Sesungguhnya kalian telah berbuat syirik, kalian mengatakan, ‘Atas kehendak Allah dan kehendakku’ dan kalian mengatakan, ‘Demi Ka’bah’ …” (HR Nasa`i dari Qutailah).

Anda perhatikan dari hadits-hadits ini adanya larangan bersumpah dengan selain Allah, meskipun dengan Ka’bah yang padahal ia sebagai baitullah, apalagi kalau selain Ka’bah. Selanjutnya Anda bisa lihat kembali di Al Wala` Wal Bara` edisi 7 tahun ke-1 kolom Fatwa. Wal ‘ilmu ‘indallah. Edisi ke-7

SUMBER : Bulletin Al Wala’ Wal Bara’ Tahun ke-2 / 09 Januari 2004 M / 17 Dzul Qo’dah 1424 H

Previous Older Entries