Hukum Ungkapan “Almarhum”

Oleh: Asy-Syaikh Muhammad bin Shâlih Al-`Utsaimîn rahimahullâh

Pertanyaan:

Apa hukum ungkapan “Si fulan yang diampuni (al-maghfur lahu) atau “Si fulan yang dirahmati (almarhum)”?

Jawaban:

Sebagian orang mengingkari ungkapan-ungkapan ini dengan mengatakan bahwa kita tidak mengetahui apakah si mayit termasuk orang yang dirahmati dan diampuni atau bukan? Pengingkaran ini bisa benar jika orang yang berkata dengan ungkapan ini berkata dengan maksud mengabarkan bahwa si mayit telah dirahmati dan diampuni; karena kita tidak boleh mengabarkan bahwa si mayit telah dirahmati atau diampuni tanpa ilmu. Allah Ta’ala berfirman:

(وَلا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولا(٣٦

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggungjawabannya.” (Al Israa’: 36)

Orang-orang yang berkata dengan ungkapan ini tidak bermaksud demikian. Orang-orang yang mengatakan almarhum atau almarhumah bermaksud berdoa kepada Allah agar Allah memberi rahmat. Karena itu kita berkata, “fulan rahimahullah“, “fulan ghafarallahu lahu“. Ungkapan ini tidak ada perbedaan dengan “fulan almarhum” karena kalimat “fulan almarhum” dan “fulan rahimahullah” keduanya kalimat khabariyah (pengkabaran). Berarti orang yang melarang penggunaan “almarhum” harus juga melarang “fulan rahimahullah“.

‘Ala kulli hal, kita katakan tidak ada pengingkaran dalam ungkapan ini, karena kita bukan bermaksud memberi kabar melainkan meminta dan berharap kepada Allah.

Sumber: Al-Manâhil Lafzhiyah, Penulis: Asy-Syaikh Muhammad bin Shâlih Al-`Utsaimîn, Penerbit: Muasasah Asy-Syaikh Muhammad bin Shâlih Al-`Utsaimîn dan Takhrij dari Maktabah Sunnah Kairo, Mesir; Judul Indonesia: Beragam Ungkapan dan Pemahaman dalam Timbangan Syarî`at. Pertanyaan ke-93 halaman 83-84. Penerjemah: Abû Zaid Resa Gunarsa, Editor: Abû `Umar Al-Bankawi, Muraja’ah: Al-Ustâdz `Alî Basuki, Penerbit: Penerbit Al-Ilmu. Disalin untuk http://akhwat.web.id. Silakan copy dengan menyertakan url sumber.

Menyalati Jenazah Fasiq

Tanya:
Bolehkah tidak ikut menyelenggarakan jenazah si mayit yang semasa hidupnya tidak shalat? (08524212????)

Jawab:
Ini kembalinya kepada permasalahan apakah orang yang meninggalkan shalat secara terus-menerus karena malas itu kafir atau tidak? Yang benarnya dalam masalah ini adalah pendapat mayoritas sahabat bahwa orang itu kafir jika telah tegak hujjah atasnya.
Jadi, jika si mayit ketika hidupnya telah dijelaskan kepadanya bahwa meninggalkan shalat adalah kekafiran dengan penjelasan yang betul-betul membuat dirinya yakin tapi dia tetap meninggalkan shalat, maka dia adalah orang yang kafir. Sehingga tidak perlu dimandikan, tidak perlu dishalati, dan tidak boleh dikubur di pekuburan kaum muslimin tapi dia dikuburkan begitu saja di tempat yang terpisah dari kaum muslimin atau digabungkan bersama kuburan orang-orang kafir.
Jika hujjah belum tegak atasnya atau padanya ada syubhat, maka kita harapkan orang ini masih muslim walaupun tetap dikhawatirkan atasnya kekafiran. Jika demikian keadaannya (yakni dia masih muslim) maka tetap wajib menyelenggarakan jenazahnya sebagaimana layaknya seorang muslim. Hanya saja perlu diketahui di sini bahwa:

Jika penanya adalah tokoh yang diikuti dan didengar ucapannya oleh masayarakat maka hendaknya dia tidak ikut dalam penyelenggaraan jenazah sebagai pelajaran bagi yang lain agar tidak meniru perbuatan si mayit. Sebagaimana Nabi -shallallahu alaihi wasallam- pernah tidak ikut menshalati jenazah orang yang mati bunuh diri, tapi beliau hanya memerintahkan para shahabat untuk menyalatinya.
Tapi jika penanya bukanlah tokoh yang dianggap oleh masyarakat maka hendaknya dia tetap ikut dalam penyelenggaraan jenazah itu -jika dibutuhkan-, ikut menyalatinya dan mengantarkannya ke kubur. Karena jika dia tidak mengikutinya dikhawatirkan dia akan terkena sorotan dari masyarakat, dan bisa membahayakan dakwah dan ajaran agama yang dia amalkan di tempat tersebut.


Sumber :http://al-atsariyyah.com

Hukum Azan dan Iqamah Saat Penguburan

Tanya:
Apa hukum azan dan iqamah pada kuburan mayat ketika dia dimasukkan ke dalamnya?

Jawab:
Tidak ada keraguan bahwa hal itu adalah bid’ah yang Allah tidak menurunkan sulthan (argumen) tentangnya, karena hal itu tidak pernah dinukil dari Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam dan tidak pula dari para shahabat beliau radhiallahu ‘anhum, padahal semua kebaikan ada pada mengikuti mereka dan menempuh jalan mereka sebagaimana firman Allah Subhanah :
وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ
“Dan orang-orang yang terdahulu lagi pertama dari (kalangan) Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepadaNya” . Sampai akhir ayat
Dan Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam bersabda :
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ
“Siapa saja yang mengadakan perkara baru dalam urusan kami ini apa-apa yang bukan darinya maka dia tertolak”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Aisyah)
Dan dalam lafadz yang lain, beliau ‘alaihishshalatu wassalam bersabda :
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Siapa saja yang beramal dengan suatu amalan yang tidak ada tuntunan kami di atasnya maka amalan itu tertolak”.
Dan beliau Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam bersabda :
وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
“Dan sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan dan setiap bid’ah adalah sesat”.
Diriwayatkan oleh Muslim dalam shahihnya dari hadits Jabir radhiallahu ‘anhu. Shalawat dan salam Allah atas Nabi kita Muhammad, seluruh keluarga dan shahabat beliau”.

(Majmu’ Fatawa karya Syaikh Abdul Aziz bin Baz jilid 1 pada judul ‘Al-Ajwibah an As`ilah Al-Mutafarriqah soal no. 5)

Hukum tentang beribadah di kuburan

Tanya :

Apa hukumnya thawaf di sekitar pekuburan para wali ? dan menyembelih binatang dan bernazar diatasnya ?. Siapakah yang disebut wali dalam ajaran Islam. Apakah diperbolekan minta doa kepada mereka, baik ketika hidup ataupun telah meninggal ?

Jawab :

Menyembelih untuk orang mati atau bernazar untuk mereka adalah perbuatan syirik besar. Dan yang disebut wali adalah mereka yang patuh kepada Allah dengan ketaatan, lalu dia mengerjakan apa yang Dia perintahkan dan meninggalkan apa yang dilarangnya meskipun tidak tampak padanya karomah. Dan tidak diperbolehkan meminta doa kepada mereka atau selain mereka jika mereka telah meninggal. Sedangkan memintanya kepada orang-orang shalih yang masih hidup diperbolehkan.

Adapun thawaf di kuburan tidak diperbolehkan, thawaf merupakan pekerjaan yang dilakukan hanya di depan Ka’bah. Maka siapa yang thawaf di depan kuburan dengan tujuan beribadah kepada penghuninya maka perbuatan tersebut merupakan syirik besar. Jika yang dimaksud adalah beribadah kepada Allah maka dia termasuk bid’ah yang munkar, karena kuburan bukan tempat untuk thawaf dan shalat walaupun tujuannya adalah meraih ridha Allah.

(Dinukil dari terjemah فتاوى اللجنة الدائمة للبحوث العلمية والإفتاء, Kumpulan Fatwa al Lajnah ad Daimah li al Buhuts al ‘Ilmiyyah wa al Ifta, Lembaga tetap pengkajian ilmiah dan riset fatwa Saudi Arabia. P.O. Box 1419 Riyadh 11431)

Bagaimana Hukumnya Mendoakan Penghuni Kubur?

Pertanyaan :

Syaikh Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin  ditanya : Bagaimana Hukumnya Mendoakan Penghuni Kubur?

Jawaban:

Doa dibagi dua macam:

Pertama, doa yang berarti ibadah; misalnya shalat, puasa dan ibadah-ibadah lainnya. Jika seseorang mengerjakan shalat atau puasa, maka dia telah berdoa kepada Tuhannya dengan lisan hal agar diampuni, dijauhkan dari adzab-Nya dan diberi karunia-Nya. Hal semacam ini ditunjukkan oleh Allah dalam firman-Nya, “Dan Tuhanmu berfirman, “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka jahannam dalam keadaan hina dina.” (Ghafir: 60).

Allah menjadikan doa sebagai ibadah, maka barangsiapa beribadah kepada selain Allah, dia telah kafir yang mengeluarkannya dari agama. Jika manusia rukuk atau sujud kepada sesuatu yang diagungkannya seperti mengagungkan Allah dalam rukuk atau sujud itu, maka dia telah berbuat musyrik yang mengeluarkannya dari Islam. Maka dari itu, Nabi Shallallahu Alahi wa Sallam melarang untuk membungkuk tatkala bertemu untuk menghilangkan syirik. Beliau ditanya tentang orang yang bertemu saudaranya, haruskan dia membungkuk kepadanya? Beliau menjawab, “Tidak.” Berarti apa yang dilakukan sebagian orang yang membungkuk tatkala mengucapkan salam kepada Anda adalah salah, maka Anda harus menjelaskan dan melarangnya. Kedua, doa dalam arti meminta. Doa semacam ini tidak semuanya, tetapi dijelaskan secara rinci sebagai berikut: Lainnya

Apa Hukumnya Membuat Bangunan di atas Kuburan?

Pertanyaan :

Syaikh Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin ditanya : Apa Hukumnya Membuat Bangunan di atas Kuburan?

Jawaban:

Membuat bangunan di atas kuburan hukumnya haram dan Nabi Shallallahu Alahi Wa Sallam melarangnya karena di dalamnya ada pengagungan terhadap penghuni kubur, bisa menjadi wasilah dan sarana untuk menyembah kuburan itu serta menjadikannya sebagai tuhan-tuhan lain selain Allah. Seperti halnya bangunan-bangunan lain yang dibangun di atas kuburan, maka manusia menyekutukan penghuni kuburan itu dengan Allah, berdoa kepadanya dan meminta pertolongan kepadanya untuk menghilangkan bencana. Semua itu termasuk syirik besar dan murtad dari Islam.

Sumber: Syaikh Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin, Fatawa arkaanil Islam atau Tuntunan Tanya Jawab Akidah, Shalat, Zakat, Puasa, dan Haji, terj. Munirul Abidin, M.Ag. (Darul Falah 1426 H.), hlm. 174.

Hukum Meminta Berkah kepada Kuburan

Pertanyaan :

Syaikh Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin  ditanya : Apa Hukumnya meminta berkah kepada kuburan dan mengelilinginya untuk tujuan meminta hajat atau mendekatkan diri. Bagaimana hukumnya bersumpah kepada selain Allah?

Jawaban:

Meminta berkah kepada kuburan hukumnya haram dan termasuk syirik, karena orang yang melakukan tindakan itu telah menganggap sesuatu yang tidak diberi kekuatan oleh Allah mempunyai pengaruh, dan meminta berkah semacam itu bukan termasuk kebiasaan para salafus shalih. Bila dilihat dari sudut pandang ini, maka meminta berkah kepada kuburan bisa disebut bid’ah. Jika orang yang meminta berkah itu yakin bahwa penghuni kubur itu mempunyai pengaruh atau kekuatan untuk menolak bahaya atau memberikan manfaat, berarti dia telah berbuat syirik besar, apalagi jika ia berdoa kepadanya untuk mendapatkan manfaat atau menolak mudharat. Begitu pula termasuk syirik besar jika seseorang menyembah penghuni kubur dengan ruku’, sujud atau menyembelih untuknya dan mengagungkannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

“Dan barangsiapa menyembah Tuhan yang lain di samping Allah, Padahal tidak ada suatu dalilpun baginya tentang itu, maka sesungguhnya perhitungannya di sisi Tuhannya. Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu tiada beruntung.” (Al-Mukminun: 117). Lainnya

Hukum Perkataan Si Fulan Almarhum

Pertanyaan :

Syaikh Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin  ditanya : Bagaimana hukumnya perkataan seseorang “si fulan almarhum”, “Semoga Allah  melimpahkan rahmat kepadanya”, dan “pulang ke rahmatullah”?

Jawaban:

Perkataan seseorang, “si fulan almarhum” atau “semoga Allah melimpahkan rahmat kepadanya” tidak apa-apa, karena perkataan itu termasuk doa dan harapan, bukan dalam bentuk pengabaran. Jika itu masuk dalam katagori doa dan harapan, maka hukumnya tidak apa-apa.

Sedangkan perkataan “pulang ke rahmatullah” menurut saya juga termasuk katagori doa dan harapan, bukan termasuk pengabaran, karena masalah ini termasuk masalah gaib sehingga tidak mungkin  bagi kita untuk memastikannya. Namun  kita tidak boleh mengatakan, “intalaqa ila ar-rafiqil a’la” (pindah kepada kekasih tertinggi).

Sumber: Syaikh Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin, Fatawa arkaanil Islam atau Tuntunan Tanya Jawab Akidah, Shalat, Zakat, Puasa, dan Haji, terj. Munirul Abidin, M.Ag. (Darul Falah 1426 H.), hlm. 205.

Hukum Perkataan Dimakamkan di Persinggahan Terakhir

Pertanyaan :

Syaikh Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin ditanya : Bagaimana hukumnya perkataan, “Dimakamkan di Persinggahan yang terakhir”

Jawaban:

Perkataan dimakamkan di persinggahannya yang terakhir “hukumnya haram dan tidak boleh , karena jika Anda mengatakan, “Di persinggahanan yang terakhir” berarti kuburan merupakan akhir segala sesuatu  baginya, maka ini mengandung unsur pengingkaran terhadap hari kebangkitan. Diketahui bersama menurut orang Islam bahwa kuburan bukan akhir segala sesuatu, kecuali bagi orang-orang yang tidak beriman kepada hari akhir, maka kuburan adalah akhir segala sesuatu menurut mereka. Sedangkan menurut orang Islam, kuburan bukan akhir segala sesuatu. Seorang arab mendengar seseorang membaca firman Allah, “Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur.” (At-Takatsur: 1-2).

Orang Arab berkata, “Demi Allah, pengunjung tidak akan bermukim.” Karena orang yang berkunjung harus melanjutkan perjalanannya lagi. Perkataan semacam ini benar.

Kita harus menjauhi perkataan, “Kuburan  adalah tempat persinggahan terakhir”, karena persinggahan terakhir adalah surga atau neraka pada hari kiamat.

Sumber: Syaikh Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin, Fatawa arkaanil Islam atau Tuntunan Tanya Jawab Akidah, Shalat, Zakat, Puasa, dan Haji, terj. Munirul Abidin, M.Ag. (Darul Falah 1426 H.), hlm. 214.

Apakah Adzab Kubur yang Menimpa Orang Mukmin yang Berbuat Maksiat dapat Diringankan?

Pertanyaan :

Syaikh Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin ditanya : Apakah Adzab Kubur yang Menimpa Orang Mukmin yang Berbuat Maksiat dapat Diringankan?

Jawaban:

Ya, kadang-kadang adzabnya dapat diringankan, karena Nabi saw. melewati dua kuburan seraya bersabda, “Sesungguhnya penghuni dua kuburan itu benar-benar diadzab dan keduanya tidak diadzab karena dosa besar; oh ya, karena dosa besar; sedangkan salah satunya tidak bisa dibebaskan” atau bersabda, “tidak bisa ditutupi dosanya karena kencing, sedangkan yang lain karena mengumpat.” Kemudian beliau mengambil selembar daun, lalu daun itu dibagi menjadi dua bagian dan diletakkan di atas tiap-tiap kuburan itu satu lembar seraya berkata, “Semoga ini bisa meringankan keduanya selama belum kering.”(Al-Bukhori) Ditakhrij oleh Al-Bukhori kitab Al-Janaiz bab “Adzab Al-Qabr min Al- Ghaibah wa Al-Baul”[1378] dan Muslim kitab Ath-Thaharah bab “Ad-Dalil ‘ala Najasati Al-Baul wa Wujub Al-Istibra ‘minhu”.[292].

Hadits ini menjadi dalil bahwa adzab seorang Mukmin kadang bisa diringankan, tetapi pertanyaannya; apa kaitannya dengan kedua daun itu sehingga dapat meringankan adzab kedua orang Mukmin yang sedang diadzab itu? Lainnya

Previous Older Entries