Hukum Menunda Pembayaran Hutang Puasa

Pertanyaan :

Seseorang memiliki tanggungan/hutang beberapa hari puasa Ramadhan. Namun hingga datang bulan Ramadhan tahun berikutnya ternyata ia belum juga mengqodho’ (mengganti kewajiban/membayar) hutang puasanya tersebut. Bagaimana seharusnya yang ia lakukan? Apakah ia berdosa, dan apakah gugur kewajibannya?

Jawab :

Sesungguhnya Allah berfirman dalam Al-Qur`anul Karim :

(( فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ , وَمَنْ كَانَ مَرِيْضًا أَوْ عَلى سَفَرٍ فَعِدَّةٍ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ))

“Barangsiapa diantara kalian yang mendapati bulan (Ramadhan) maka hendaklah ia berpuasa, dan barangsiapa yang sakit atau berpergian (lalu ia tidak berpuasa) maka (wajib baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya di hari yang lain.”Al Baqorah : 185.

Sehingga seseorang diperbolehkan untuk tidak berpuasa jika ada alasan syar’i, kemudian ia berkewajiban untuk menggantinya pada hari-hari lain, serta tidak menundanya sampai datang bulan Ramadhan berikutnya, dengan dasar ucapan ‘Aisyah Radhiyallah ‘anha (istri Rasulullah), ia berkata :

كَانَ يَكُوْنُ عَلَيَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ فَمَا أَسْتَطِيْعُ أَنْ أَقْضِيَهُ إِلاَّ فِي شَعْبَانَ .

Dahulu kami memiliki tanggungan/hutang puasa Ramadhan, dan tidaklah aku sempat mengqodho’nya (yakni terus tertunda) kecuali setelah sampai bulan Sya’ban (yakni terus tertunda hingga tiba bulan Sya’ban berikutnya). (HR. Al-Bukhari, Bab Kapan Menunaikan Qodho’ Puasa, no.1950)

‘Aisyah Radhiyallah ‘anha tidak sempat mengqodho’ puasanya hingga tiba bulan Sya’ban (berikutnya) karena keadaan beliau di sisi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam .

Adapun perkataan Aisyah : “dan tidaklah aku sempat mengqodho’nya kecuali setelah sampai bulan Sya’ban”, adalah dalil wajibnya mengqodho’ puasa Ramadhan sebelum datang bulan Ramadhan berikutnya.

Namun apabila qodho’nya diakhirkan/ditunda-tunda hingga datang bulan Ramadhan tahun berikutnya maka ia berkewajiban untuk beristighfar dan meminta ampun kepada Allah, serta menyesal dan mencela perbuatannya menunda-nunda qodho’ puasa. Namun ia tetap berkewajiban mengqodho’ puasanya yang ia tinggalkan, karena kewajiban mengqodho’ tidak gugur dengan sebab diakhirkan/ditunda. Maka ia tetap wajib menggantinya walaupun setelah bulan Ramadhan tahun berikutnya, Wallahul Muwaffiq.

Fatawa Arkanul Islam oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, halaman 489, pertanyaan yang ke – 439.

(Sumber http://www.assalafy.org/mahad/?p=339#more-339)

Hukum-Hukum Puasa Syawal

1. Puasa Enam Hari di Bulan Syawal Sebanding dengan Puasa Setahun

Disunnahkan mengiringi puasa Ramadlan dengan puasa enam hari di bulan Syawal dan itu sebanding dengan puasa setahun. Diriwayatkan dari Abu Ayyub Al-Anshari radliyallaahu ‘anhu, bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
“Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadlan, lalu ia mengiringinya dengan puasa enam hari di bulan Syawal, maka ia seperti puasa selama setahun” (HR. Muslim no. 1164, Abu Dawud no. 2433, At-Tirmidzi no. 759, dan lain-lain).

Imam An-Nawawi berkata : “Para ulama mengatakan bahwa itu sebanding dengan puasa setahun karena satu kebaikan balasannya sepuluh kali lipat dan puasa sebulan Ramadlan sama dengan puasa sepuluh bulan. Sedangkan puasa enam hari sama dengan puasa dua bulan. Keterangan ini juga terdapat pada hadits marfu’ dalam kitab An-Nasa’i” (Syarah Shahih Muslim lin-Nawawi hal. 827).

2. Tidak Disyaratkan Melakukannya Secara Berurutan

Hal itu sesuai dengan kemutlakan hadits : “lalu ia mengiringinya dengan puasa enam hari”. Kalimat hadits ini tidak menunjukkan keharusan melakukannya secara berurutan. Imam Ahmad berkata : “Nabi mengatakan : ‘Enam hari dari bulan Syawal’ ; maka bila seseorang berpuasa enam hari tersebut, ia tidak peduli apakah dilakukan secara acak atau berurutan” (Masa’il Abdullah bin Ahmad bin Hanbal halaman 93). Lainnya

Apakah suami berhak untuk melarang istrinya berpuasa Syawal

Pertanyaan

Syaikh Abdullah bin Jibrin ditanya : Apakah saya berhak untuk melarang istri saya jika ia hendak melakukan puasa sunat seperti puasa enam hari Syawal ? Dan apakah perbuatan saya itu berdosa ?

Jawaban

Ada nash yang melarang seorang wanita untuk berpuasa sunat saat suaminya hadir di sisinya (tidak berpergian/safar) kecuali dengan izin suaminya, hal ini untuk tidak menghalangi kebutuhan biologisnya. Dan seandainya wanita itu berpuasa tanpa seizin suaminya maka boleh bagi suaminya untuk membatalkan puasa istrinya itu jika suaminyta ingin mencampurinya. Jika suaminya itu tidak membutuhkan hajat biologis kepada istrinya, maka makruh hukumnya bagi sang suami untuk melarang istrinya berpuasa jika puasa itu tidak membahayakan diri istrinya atau menyulitkan istrinya dalam mengasuh atau menyusui anaknya, baik itu berupa puasa Syawal yang enam hari itu ataupun puasa-puasa sunnat lainnya.

Mengqadha enam hari puasa Ramadhan di bulan Syawal, apakah mendapat pahala puasa Syawal enam hari

Pertanyaan

Syaikh Abduillah bin Jibrin ditanya : Jika seorang wanita berpuasa enam hari di bulan Syawal untuk mengqadha puasa Ramadhan, apakah ia mendapat pahala puasa enam hari Syawal ?
Jawaban

Disebutkan dalam riwayat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda (yang artinya) : “Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan kemudian diikuti dengan puasa enam hari bulan Syawal maka seakan-akan ia berpuasa setahun”
Hadits ini menunjukkan bahwa diwajibkannya menyempurnakan puasa Ramadhan yang merupakan puasa wajib kemudian ditambah dengan puasa enam hari di bulan Syawal yang merupakan puasa sunnah untuk mendapatkan pahala puasa setahun. Dalam hadits lain disebutkan (yang artinya) : “Puasa Ramadhan sama dengan sepuluh bulan dan puasa enam hari di bulan Syawal sama dengan dua bulan”
Yang berarti bahwa satu kebaikan mendapat sepuluh kebaikan, maka berdasarkan hadits ini barangsiapa yang tidak menyempurnakan puasa Ramadhan dikarenakan sakit, atau karena perjalanan atau karena haidh, atau karena nifas maka hendaknya ia menyempurnakan puasa Ramadhan itu dengan mendahulukan qadhanya dari pada puasa sunnat, termasuk puasa enam hari Syawal atau puasa sunat lainnya. Jika telah menyempurnakan qadha puasa Ramadhan, baru disyariatkan untuk melaksanakan puasa enam hari Syawal agar bisa mendapatkan pahala atau kebaikan yang dimaksud. Dengan demikian puasa qadha yang ia lakukan itu tidak bersetatus sebagai puasa sunnat Syawal.

Hukum mengqadha enam hari puasa Syawal

Pertanyaan

Syaikh Abdul Aziz bin Baaz ditanya : Seorang wanita sudah terbiasa menjalankan puasa enam hari di bulan Syawal setiap tahun, pada suatu tahun ia mengalami nifas karena melahirkan pada permulaan Ramadhan dan belum mendapat kesucian dari nifasnya itu kecuali setelah habisnya bulan Ramadhan, setelah mendapat kesucian ia mengqadha puasa Ramadhan. Apakah diharuskan baginya untuk mengqadha puasa Syawal yang enam hari itu setelah mengqadha puasa Ramadhan walau puasa Syawal itu dikerjakan bukan pada bulan Syawal ? Ataukah puasa Syawal itu tidak harus diqadha kecuali mengqadha puasa Ramadhan saja dan apakah puasa enam hari Syawal diharuskan terus menerus atau tidak ?

Jawaban

Puasa enam hari di bulan Syawal, sunat hukumnya dan bukan wajib berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Artinya : Barangsiapa berpuasa di bulan Ramadhan kemudian disusul dengan puasa enam hari di bulan Syawal maka puasanya itu bagaikan puasa sepanjang tahun” [Dikeluarkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahihnya]
Lainnya

Hukum dalam puasa Sunnah 6 hari bulan Syawal

Dalil-dalil tentang Puasa Syawal

Dari Abu Ayyub radhiyallahu anhu:
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Siapa yang berpuasa Ramadhan dan melanjutkannya dengan 6 hari pada Syawal, maka itulah puasa seumur hidup’.” [Riwayat Muslim 1984, Ahmad 5/417, Abu Dawud 2433, At-Tirmidzi 1164]

Hukum Puasa Syawal

Hukumnya adalah sunnah: “Ini adalah hadits shahih yang menunjukkan bahwa berpuasa 6 hari pada Syawal adalah sunnah. Asy-Syafi’i, Ahmad dan banyak ulama terkemuka mengikutinya. Tidaklah benar untuk menolak hadits ini dengan alasan-alasan yang dikemukakan beberapa ulama dalam memakruhkan puasa ini, seperti; khawatir orang yang tidak tahu menganggap ini bagian dari Ramadhan, atau khawatir manusia akan menganggap ini wajib, atau karena dia tidak mendengar bahwa ulama salaf biasa berpuasa dalam Syawal, karena semua ini adalah perkiraan-perkiraan, yang tidak bisa digunakan untuk menolak Sunnah yang shahih. Jika sesuatu telah diketahui, maka menjadi bukti bagi yang tidak mengetahui.”
[Fataawa Al-Lajnah Ad-Daa’imah lil Buhuuts wal Ifta’, 10/389]
Lainnya

Apakah Memakai Alat Bantu Pernafasan Membatalkan Puasa?

Pertanyaan :

Syaikh Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin ditanya : Bagaimana hukumnya memakai alat Bantu pernafasan bagi orang yang puasa, Apakah hal itu membatalkan puasa?

Jawaban:

Memakai alat bantu pernafasan hanya berupa udara dan tidak sampai ke perut, maka menurut pendapat kami hukumya boleh. Jika Anda memakai alat bantu pernafasan itu ketika sedang berpuasa, tidak perlu berbuka karenanya. Alasannya, seperti yang kami katakan, tidak masuk sesuatu ke dalam perut, karena yang disemprotkan oleh alat itu adalah sesuatu yang terbang, berasap dan hilang sehingga apa yang dihirup tidak masuk ke dalam perut. Maka boleh hukumnya menggunakan alat itu ketika Anda berpuasa dan tidak membatalkan puasa Anda karenanya.

Sumber: Syaikh Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin, Fatawa Arkaanil Islam atau Tuntunan Tanya Jawab Akidah, Shalat, Zakat, Puasa, dan Haji, terj. Munirul Abidin, M.Ag. (Darul Falah 1426 H.), hlm. 502.

Bagaimana Hukumnya Obat Tetes Hidung, Mata dan Telinga Bagi Orang yang Berpuasa?

Pertanyaan :

Syaikh Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin  ditanya : Bagaimana Hukumnya Obat Tetes Hidung, Mata dan Telinga Bagi Orang yang Berpuasa?

Jawaban:

Obat tetes hidung jika tetesan itu sampai masuk ke dalam perut maka membatalkan puasa, seperti yang dijelaskan dalam hadits Luqaith bin Shabrah yang mana Nabi Shallallahu Alahi wa Sallam bersabda kepadanya, “Sempurnakanlah dalam membersihkan hidung kecuali jika kalian sedang berpuasa.”(Diriwayatkan Abu Dawud).

Orang yang berpuasa tidak boleh meneteskan obat tetes pada hidungnya hingga masuk ke dalam perutnya. Sedangkan jika tetesan itu tidak masuk ke dalam perut maka tidak membatalkan. Lainnya

Bagaimana Hukumnya Mendinginkan Diri(Berendam) Bagi Orang yang Berpuasa?

Pertanyaan :

Syaikh Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin ditanya : Bagaimana Hukumnya Mendinginkan Diri(Berendam) Bagi Orang yang Berpuasa?

Jawaban:

Mendinginkan diri(berendam) bagi orang yang berpuasa hukumnya boleh, karena Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam pernah menyiram kepalanya dengan air karena panas atau dahaga ketika beliau berpuasa. Ibnu Umar pernah membasahi pakainnya dengan air ketika dia berpuasa untuk meringankan panas atau dahaga yang sangat. Berendam tidak membatalkan puasa karena airnya tidak sampai masuk ke dalam perut.

Sumber: Syaikh Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin, Fatawa Arkaanil Islam atau Tuntunan Tanya Jawab Akidah, Shalat, Zakat, Puasa, dan Haji, terj. Munirul Abidin, M.Ag. (Darul Falah 1426 H.), hlm. 507.

Apakah Berkumur atau Membersihkan Hidung Lalu Airnya Masuk ke Perut Membatalkan Puasa?

Pertanyaan :

Syaikh Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin ditanya : Jika Seseorang Berkumur Atau Membersihkan Hidung Lalu Airnya Masuk Ke Dalam Perut, Apakah Itu Membatalkan Puasa?

Jawaban:

Jika seseorang berkumur atau membersihkan hidung lalu airnya masuk ke dalam perut, hal itu tidak membatalkan puasa karena dia tidak sengaja melakukannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,”Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu.”(Al-Ahzaab: 5).

Sumber: Syaikh Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin, Fatawa Arkaanil Islam atau Tuntunan Tanya Jawab Akidah, Shalat, Zakat, Puasa, dan Haji, terj. Munirul Abidin, M.Ag. (Darul Falah 1426 H.), hlm. 508.

Previous Older Entries